Menghidupkan Nilai Tradisional Ramadhan

Kekayaan budaya masyarakat kita dalam menjalani Ramadhan merupakan hal yang patut disyukuri. Karena, jika saja kita mampu menghayati nilai yang terkandung di dalamnya, transformasi menuju bangsa yang bermartabat bukan lagi sekadar mimpi.

Ramadhan merupakan momen perubahan yang terisi dengan warna-warni tradisi. Sebagaimana sudah dikenal, ajaran universal apapun akan mengalami akulturasi jika berhadapan dengan tradisi lokal. Dan Ramadhan bisa jadi merupakan ritual dalam Islam yang mengalami akulturasi dengan variansi yang besar. Norma yang diajarkan dalam Ramadhan memunculkan ritual-ritual kreatif dari masyarakat, yang jika ditelisik lebih mendalam, mengandung hikmah yang relevan dalam keseharian.

Andre Moller, dalam disertasinya yang berjudul Ramadan in Java, The Joy and Jihad of ritual Fasting, mendokumentasikan keberagaman tradisi yang ada di masyarakat kita. Nyadran dan Padusan, ritus yang biasa dilakukan sebelum Ramadhan, menjadi salah satu yang menjadi bahasan. Upacara tradisional yang berupa mandi di air mengalir seperti sungai dan air terjun ini bertujuan untuk membersihkan diri sebelum menyambut Ramadhan. Nilai untuk senantiasa membersihkan jiwa dan raga menjadi hikmah yang tersirat di dalam ritual tersebut.

Setelah memasuki Ramadhan, berbagai macam ritus-ritus berjamur, mencitrakan Ramadhan dengan berbagai nuansa. Takjilan serta Jaburan yang biasa dilakukan selepas berbuka dan Sholat Tarawih merupakan aktivitas umum di berbagai tempat. Menikmati kudapan bersama dalam satu spirit ibadah adalah karakter dasar dalam tradisi ini. Unsur kebersamaan dan kekeluargaan (brotherhood) yang harmonis menjadi fondasi kehikmatan tersendiri.

Sedikit berbeda dengan itu, masyarakat kota merayakan Ramadhan dengan lebih elegan, namun tetap beraneka dan sarat hikmah. Ceramah Ramadhan yang menekankan pada nasihat moral dan intelektual menjadi tajuk utama setiap harinya. Masyarakat yang cenderung lebih maju menuntut sebuah pemenuhan kebutuhan ruhiyah dengan cara yang atraktif. Perdagangan yang melesat maju serta produk yang menawarkan kombinasi citra relijius dengan trend pop muncul seketika. Kampus-kampus sebagai pusat intelektualitas mempertunjukkan selebrasi Ramadhan dengan kompetisi dan promosi kemeriahan. Atribut fisik mewarnai sekitar. Peningkatan gradasi warna kehidupan manusia merefleksikan satu spektrum masyarakat sosial yang “hidup”, lagi humanis.

Membubuhkan Pemaknaan

Berbagai macam aktivitas tersebut mengandung hikmah yang bermanfaat jika diterapkan dalam keseharian. Nilai kebersihan jiwa dan raga dalam ritual nyadran dan padusan misalnya. Minimnya keberadaan sikap selalu membersihkan diri dalam masyarakat kita memberikan dampak sosial-lingkungan yang kacau. Secara fisik, infrastruktur yang tidak terawat, alam sekitar yang tidak terjaga, serta moralitas yang dekaden secara non-fisik menjadi bukti hilangnya mental membersihkan di dalam diri. Hal ini membutuhkan reparasi nilai-nilai pembersihan jasmani-rohani.

Dalam skala yang lebih luas, persatuan kebangsaan juga dilanda masalah. Berkurangnya apresiasi akan sebuah multi-kulturalitas menimbulkan konflik etnik dan agama di berbagai tempat. Terakuisisinya budaya bangsa juga mencuatkan rasa kepemilikan yang semakin terkikis. Rekonstruksi pola pikir (mindset) kebersamaan adalah suatu kepatutan. Nilai-nilai kekeluargaan dan perasaan saling memiliki (shared intrerest dan common property) yang terkandung dalam tradisi takjilan dan jaburan perlu dipugar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Nuansa meriah yang dibangun masyarakat kota dalam menjalankan bulan Ramadhan dapat menjadi model kehidupan yang baru. Komunikasi sosial yang penuh hasrat, serta pelesatan interaksi komunal yang riuh dapat menumbuh-kembangkan pergaulan yang positif antar-masyarakat. Hal tersebut mampu mewujudkan kerukunan sebagai dampak ke-saling-terbukaan masyarakat di satu wilayah spasial.

Ramadhan tidak hanya menawarkan transformasi spiritual bagi hamba-hamba yang menjalaninya, tetapi juga transisi sosial. Ibadah-ibadah yang pada umumnya bersifat individual beralih-fungsi menjadi pemrakarsa perubahan kolektif, jika dimaknai secara meluas. Yang perlu dilakukan hanyalah pembubuhan makna dalam nilai-nilai lokal yang tersirat dalam tradisi ritual masyarakat.

Penerapan hikmah-hikmah tradisional, andai saja kita jeli, dapat menjadi obat yang mujarab untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Maka, di bulan Ramadhan ini, sebuah renungan akan kekayaan nilai-nilai dalam aktivitas masyarakat memang selayaknya dilakukan. Dan untuk menjadi bangsa yang bermartabat, sudah seharusnya kita mampu menghayati hikmah yang ada sebagai bentuk apresiasi terhadap kekayaan budaya kita. Serta memanfaatkan Ramadhan sebagai momentum internalisasi demi sebuah perubahan hakiki

Sumber: https://www.eramuslim.com/ramadhan/hikmah-ramadhan/menghidupkan-nilai-tradisional-ramadhan.htm/3#.YHT78ugzbIU