
Setiap 1 Juni kini bangsa Indonesia memperingati hari lahir Pancasila. Hari Lahir Pancasila 1 Juni itu ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila oleh Presiden Jokowi. Dalam keputusan ini Soekarno dianggap sebagai pencetus dan perumus Pancasila.
Kita cuplikkan pidato Soekarno pada 1 Juni 1945: ”Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik khalifah, maupun Amirul Mu’minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih.
Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan empat prinsip:
- Kebangsaan Indonesia.
- Internasionalisme, – atau peri-kemanusiaan.
- Mufakat, – atau demokrasi.
- Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan!
Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. (Tepuk tangan sebagian hadirin).
Nabi Muhammad Saw telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula! Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, di situlah tempatnya kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-Dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan.
Kita mempunyai Panca Indera. Apa lagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir berucap: Pendawa lima). Pendawapun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. (Tepuk tangan riuh hadirin)…”
Mohammad Yamin sebenarnya lebih dulu pidato sebelum Bung Karno. Yamin pidato pada 29 Mei 1945. Ia pun mengemukakan lima dasar untuk asas negara, yaitu: 1. Perikebangsaan. 2. Perikemanusiaan. 3. Periketuhanan 4. Perikerakyatan 5. Kesejahteraan rakyat. Cuma Yamin tidak menyebut rumusannya sebagai Pancasila. Sedangkan Soekarno, seperti dikutip di atas mengusulkan lima rumusan dasar negara (Pancasila), yaitu: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan. 3. Mufakat atau demokrasi. 4. Kesejahteraan sosial 5. Ketuhanan yang berkebudayaan.
Jadi sebenarnya keduanya, tidak merumuskan Pancasila seperti yang tercantum dalam dasar negara kita saat ini. Perumusan Pancasila seperti saat ini, dimulai dari Panitia Kecil yang yang diambil dari anggota-anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). BPUPKI diresmikan pada 29 April 1945. Anggota Panitia Kecil berjumlah sembilan orang ini meliputi wakil kalangan nasionalis sekuler, Kristen dan nasionalis Islam.

Mereka adalah: Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo (nasionalis sekuler). AA Maramis (Kristen), Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosuyoso, Agus Salim dan Wahid Hasyim (nasionalis Islam). Keempat tokoh Islam ini berjuang ‘mati-matian’ sehingga teks Pancasila saat ini penuh dengan nafas keislaman. Sayangnya ahli-ahli hukum kita kemudian membelokkan Pancasila ini menjadi sekuler.
Memang istilah Pancasila dari Soekarno. Tapi isi dari teks Pancasila itu, empat tokoh Islam itu mempunyai andil besar. Kata adil, beradab, kerakyatan, hikmah, kebijaksanaan, permusyawaratan dan perwakilan adalah kosa-kosa kata Islam yang hampir mustahil disuarakan oleh tokoh-tokoh sekuler saat itu (Soekarno dkk). Sayangnya hingga kini belum ditemukan (atau jangan-jangan sengaja dihilangkan) notulen secara rinci perumusan Pancasila itu. Dari 30 orang anggota BPUPKI yang berbicara, Yamin hanya menuliskan tiga orang saja dalam bukunya. Buku Yamin ini dikatakan sebagai buku terlengkap tentang sejarah Pancasila.
Setelah rapat berhari-hari tentang dasar negara itu –Soekarno menyebutnya ‘berkeringat-keringat’—akhirnya pada 22 Juni 1945 Piagam Jakarta (dasar negara) disahkan bersama. Dalam persidangan itu –baca buku “Piagam Jakarta” karya Endang Saifuddin Anshari, terbitan GIP—debat berlangsung sengit. Mulai dari masalah presiden harus orang Islam, dasar Negara harus Islam dan lain-lain. Setelah perdebatan berlangsung lama, maka disetujuilah Piagam Jakarta yang isinya pembukaan UUD 45 yang juga mencakup Pancasila. Dimana sila pertama, berbunyi Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila Ketiga, Persatuan Indonesia. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan dan Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pancasila dalam Piagam Jakarta itu berbeda rumusannya dengan Pancasila rumusan Soekarno dan Yamin. Tapi sayangnya Piagam Jakarta yang telah matang disetujui bersama untuk dibacakan pada proklamasi tanggal 17 Agustus 145 itu dimentahkan pada 18 Agustus 1945. Pada 17 Agustus, Soekarno pagi-pagi buta jam empat, mengajak Hatta ke rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan teks proklamasi. Naskah dari Panitia Sembilan dimentahkan di rumah perwira Jepang itu dan diganti coret-coretan teks proklamasi yang sangat ringkas.
Dan ujungnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Piagam Jakarta juga diubah mendasar. Lewat rapat kilat yang berlangsung tidak sampai tiga jam, hal-hal penting yang berkenaan dengan Islam dicoret dari naskah aslinya. Dalam rapat yang mendadak yang diinisiatif oleh Soekarno (dan Hatta) itu, empat wakil umat Islam yang ikut dalam penyusunan Piagam Jakarta tidak hadir. Yang hadir adalah Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Yang lain adalah Soekarno, Hatta, Supomo, Radjiman Wedyodiningrat, Soeroso, Soetardjo, Oto Iskandar Dinata, Abdul Kadir, Soerjomihardjo, Purbojo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Amir, Abbas, Mohammad Hasan, Hamdhani, Ratulangi, Andi Pangeran dan I Bagus Ketut Pudja.
Dalam rapat yang dipimpin Soekarno yang berlangsung pada jam 11.30-13.45 itu diputuskan: Pertama, kata Mukaddimah diganti dengan kata Pembukaan. Kedua, dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat: “berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. Keempat, Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Tapi yang menarik dalam lobinya ke Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Hatta menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, maknanya tauhid. Kasman menulis dalam bukunya, “Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah. Dan waktu beliau mengusulkan supaya Ketuhanan itu dengan rumus “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijadikan sila pertama (dan bukan seperti maunya Bung Karno sebagai sila kelima dengan rumus “Ketuhanan yang berkebudayaan”), maka Bung Hatta memberi penjelasan supaya Allah dengan nur-Nya itu kepada sila-sila yang empat lainnya dari Pancasila itu.”
Jadi, meski 17-18 Agustus 1945 Piagam Jakarta dimentahkan oleh Soekarno dkk, dan pada Sidang Majelis Konstituante 1956-1959 mengalami deadlock, tetapi pada 5 Juli 1959 Piagam Jakarta dinyatakan Presiden Soekarno secara tegas bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan.

Karena itu Presiden Soekarno saat memperingati Hari Lahir Piagam Jakarta, 22 Juni 1965 menyatakan: “Nah Jakarta Charter ini saudara-saudara sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Jakarta Charter ini saudara-saudara, ditandatangani 22 Juni 1945. Waktu itu jaman Jepang…Ditandatangani oleh –saya bacakan ya– Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Mr Mohammad Yamin, sembilan orang.”
Alim Ulama
Melihat posisi Pancasila yang terkait erat dengan Piagam Jakarta itu, maka pada 21 Desember 1983, Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yaitu:
- Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
- Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
- Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
- Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
- Sebagai konsekuensi dan sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Tahun 1985, menanggapi asas tunggal yang diharuskan pemerintah ke orpol dan ormas saat itu, Mohammad Natsir yang saat itu memimpin Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) menerbitkan risalah kecil berjudul “Tempatkan Kembali Pancasila Pada Kedudukannya yang Konstitusional”.
Ulama besar ini mengatakan, “Dalam suasana derasnya arus pemikiran dalam masyarakat menyangkut hal-hal yang sedemikian fundamental, pihak pemerintah ternyata tidak bersedia mengatasi persoalan secara mendasar dengan meneliti masalah dari segi sebab dan akibat, melainkan lebih banyak mencari-cari kesalahan pihak lain, seolah-olah masih ada golongan-golongan “anti Pancasila” (tanda kutip), ditujukan ke tiap golongan dan siapa saja yang tidak menyetujui cara menafsirkan dan menfungsikan Pancasila, sebagaimana yang sekarang diinginkan oleh pihak penguasa. Diseru-serukan, ”Demi Kesatuan dan Persatuan.” Yang kita alami: Gejala-gejala Islamo-phobi terus meningkat dari mengakibatkan frustasi di satu pihak dan radikalisasi di lain pihak. “Demi stabilitas dan kemantapan!” Yang kita alami: stabilitas semu, diliputi rasa takut di satu pihak dan sikap masa bodoh di lain pihak. “Demi Pengamalan Pancasila! Yang kita alami: terisngkirnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI yang melahirkannya di tahun 1945.” (lihat Adian Husaini, Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, GIP).
Karena itu mantan Perdana Menteri RI Mohammad Natsir mengingatkan, ”Kita mengharapkan Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang menentang Al-Qur’an, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini. Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam Al-Qur’an itu, yaitu induk serba sila, yang bagi umat Muslim Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang mereka ingin sumbangan isinya kepada pembinaan bangsa dan negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis.”
Jadi, yang lebih pas sebenarnya Pancasila –yang teksnya resmi saat ini- lahir pada 22 Juni 1945 atau 18 Agustus 1945. Bukan pada 1 Juni 1945. Tapi penetapan hari-hari bersejarah bangsa kita memang banyak yang keliru, termasuk Hari Pendidikan Nasional, Hari Kebangkitan Nasional dan lain-lain. Umat Islam harus menyadarinya. Wallahu azizun hakim. (SI online)