
Kegiatan Kiai Hasyim pun kini sudah melebar ke luar pesantren. Ia mendoakan anak-anak yang baru lahir, pasangan pengantin baru dan juga membimbing belajar shalat bagi masyarakat yang baru mengenal Islam. Ia melakukan dakwahnya dengan bilhikmah, dan membiarkan tradisi dalam masyarakat berkembang dengan diisi dakwah Islam.
Tentu keberhasilan Kiai Hasyim dalam mengembangkan pesantrennya ini membuat para ahli maksiyat di daerah itu geram. Sebagian yang tidak suka kepada pesantren, menghembuskan hasutan, fitnah dan lain-lain. Bahkan para penjahat itu kadang datang ke pesantren dengan membawa golok, celurit dan pedang, mengancam agar Kiai Hasyim tidak mengembangkan dakwahnya di daerah itu.
Menghadapi ancaman para penjahat itu, akhirnya Kiai Hasyim mengutus beberapa santrinya untuk pergi ke Cirebon. Mereka diutus untuk mencari bantuan kepada para pendekar atau Kiai disana untuk mengajari pencak silat atau bela diri. Akhirnya beberapa Kiai bersedia datang ke Tebuireng, antara lain: Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Pangulangan, Kiai Syamsuri Wanalala, Kiai Abdul Jamil Buntet dan lain-lain.
Selama tiga bulan santri-santri itu digembleng siang dan malam untuk latihan bela diri, selain tetap mereka belajar mengaji. Di samping dilatih dengan jurus-jurus tangan kosong, mereka juga dilatih menggunakan pisau, pedang, tombak dan lain-lain.
Setelah tiga bulan, para Kiai itu kembali ke Cirebon. Para santri yang digembleng itu siap setiap saat menghadapi para penjahat yang mencoba mengganggu pesantren. Bahkan kadang terjadi bentrokan para penjahat itu babak belur dihajar para santri.
Pesantren pun kini tenang sebagai tempat belajar sehari-hari. Para pemabuk, penjudi, pelacur dan lain-lain banyak yang bertobat dan mulai mengamalkan Islam. Masyarakat di sekitar pun banyak yang mendukung pesantren dan dakwah Islam.
Rupanya para penjahat itu tidak kapok untuk merecoki pesantren Tebuireng. Kali ini mereka menyaru maling malam-malam datang ke pesantren. Kebetulan santri mengetahuinya dan menangkapnya. Karena dianggap maling, maka para santri menggebukinya hingga babak belur.
Melihat kawannya yang babak belur dihajar para santri itu, para penjahat membuat rekayasa lebih besar lagi. Mereka menghembuskan isu bahwa kawannya mati karena ulah santri dan mereka ingin pesantren menebusnya. Mereka membuat tiga pilihan kepada pihak pesantren. Pertama, pesantren menyerahkan santrinya yang telah membunuh kawannya itu. Kedua, Kiai Hasyim menyerahkan diri sebagai tebusan. Ketiga, pesantren akan dibakar bila tidak memenuhi tuntutan mereka.
Maka utusan para preman itu didampingi polisi Belanda akhirnya datang menemui Kiai Hasyim menyampaikan tiga tuntutan mereka. Kiai Hasyim menolaknya. Kiai Hasyim minta bukti kebenaran kawan mereka mati dan mereka tidak dapat membuktikannya. Mereka pun pulang kecewa dan mengancam akan membakar pesantren seminggu kemudian.
Akhirnya setelah seminggu tiba sekitar 200 preman gabungan dari Jombang, Nganjuk, Mojokerto dan Lamongan datang ke pondok pesantren dan membakarnya. Mereka sebelumnya menyiramkan minyak tanah dulu ke bangunan pesantren itu. Puluhan polisi Belanda ikut menyaksikan kejadian yang mengenaskan itu.
Kemana Kiai Hasyim dan santrinya? Pada hari H itu, sang Kiai dan sekitar 100 santrinya bersembunyi sekitar 100 meter dari tempat kejadian. Mereka menyaksikan kejadian itu dari jauh dan hanya bisa mengelus dada. Kiai Hasyim mengambil keputusan menghindari bentrokan dengan para preman itu agar tidak menimbulkan korban yang lebih banyak.
Tidak lama setelah pesantrennya dibakar, masyarakat pun bergotong royong membangunnya kembali. Mereka ada yang menyumbangkan tenaga, bahan bangunan, dana dan lain-lain. Lebih kurang tiga bulan kemudian pesantren itu telah berdiri kembali dan lebih bagus dari yang semula.
Kiai Hasyim mempunyai jadwal yang ketat sehari-hari mengajar di pondoknya. Pada waktu shubuh, ia menjadi imam shalat dan memimpin wirid yang biasa dilakukan setelah shalat shubuh. Setelah itu ia mengajarkan kitab at Tahrir dan As Syifa’ fi Huquqi Musthafa karya al Qadhi Iyadh sampai matahari terbit. Kemudian ia mengumpulkan para pengajar, petugas dan pekerja di pesantren untuk membagikan tugas harian.
Sekitar jam tujuh pagi, Kiai Hasyim mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat Dhuha. Setelah itu ia mengajar para santri senior. Kitab yang diajarkan antara lain al Muhadzhab karya Al Syairazi dan al Muwatha’ karya Imam Malik. Kegiatan ini berakhir sekitar pukul 10 pagi.
Jam 10-12 pagi Kiai Hasyim mempunyai jadwal bebas. Kadang menerima tamu, membaca, menulis kitab atau kegiatan-kegiatan lain. Sebelum jam 12, ia sering istirahat sejenak menunggu shalat Zuhur.
Selepas shalat Zuhur, biasanya ia mengajar lagi kepada para santri. Setengah jam sebelum Ashar, ia gunakan untuk melihat perkembangan pesantren. Setelah itu ia mandi sejenak sebelum menjalankan shalat Ashar.
Setelah azan Ashar, kembali Kiai Hasyim memimpin jamaah shalat. Setelah itu para santri berkumpul untuk mempelajari kitab fiqih ringkas Fathul Qarib, karya Abu Abdillah Muhammad Ibnu Qasim al Ghazi as Syafii.
Ketika maghrib tiba, kembali Kiai Hasyim memimpin shalat. Setelah itu ia rehat sejenak, untuk menerima tamu atau bincang dengan keluarga. Sedangkan para santri menggunakan waktunya untuk membaca Al- Qur’an.
Bila Isya’ tiba, ia kembali memimpin shalat jamaah. Setelah itu para santri diajari tafsir Al-Qur’an atau tasawuf. Yaitu kitab Tafsir Ibnu Katsir dan Ihya’ Ulumuddin karya Imam al Ghazali. Kegiatan ini berlangsung sampai jam 11 malam. Setelah itu beliau beristirahat dan kemudian bangun sekitar jam satu malam untuk shalat tahajud dan membaca Al-Qur’an. Menjelang shubuh, Kiai Hasyim membangunkan para santri untuk shalat tahajud.
Kegiatan rutin yang dilakukan Kiai Hasyim itu berlangsung kurang lebih 15 tahun namanya. Karena keistiqamahannya mengajar para santri, maka santrinya pun terus bertambah tiap tahunnya.
Pada 1916, Pesantren Tebu Ireng selain mengajarkan ilmu-ilmu agama, juga mulai memasukkan pelajaran ilmu umum. Seperti bahasa Melayu, matematika dan ilmu bumi. Pada tahun 1919, sistem pendidikan di Tebuireng ditetapkan menjadi Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Beberapa tahun kemudian mata pelajarannya ditambah lagi dengan bahasa Belanda dan sejarah.
Kiai Hasyim mempunyai hubungan yang erat dengan para santri dan keluarganya. Ia senantiasa memberi nasihat kepada santri agar patuh kepada orang tua dan sepulangnya dari pesantren agar mengajar. “Pulanglah ke kampungmu, mengajarlah di sana, minimal mengajar ngaji,” begitulah pesannya.
Ia juga merupakan Kiai yang terbuka pemikirannya. Santrinya yang lulus dari pesantren dibebaskannya untuk mengabdi atau berkarya di mana saja. Salah satu santrinya yang terkenal diantaranya, HM Mas Mansur yang setelah lulus justru menjadi pimpinan Muhammadiyah Surabaya. Begitu juga santrinya H Wahab Chasbullah dibiarkannya pada tahun 1924 ikut dalam forum Indonesische Studi Club yang dipimpin Dr Soetomo. Padahal forum ini adalah forum diskusi intelektual yang cenderung sekuler.
Hubungan antar-pesantren di Jawa Timur dan Nusantara ini cukup akrab. Para Kiai kadang bertemu untuk bermusyawarah menyelesaikan masalah-masalah masyarakat.
Sebelum berdiri Nahdlatul Ulama sudah ada organisasi yang bernama Nahdlatul Tujjar dan Nahdlatul Wathan. Nahdlatul Tujjar bergerak memperbaiki ekonomi umat, sedangkan Nahdlatul Wathan bergerak dalam bidang pendidikan. Ada juga Tashwirul Afkar forum diskusi membahas masalah-masalah umat dan Nahdhatus Syubhan organisasi kepemudaan. Namun organisasi-organisasi itu masih kecil dan sifatnya lokal.
Maka pada 1924, bertempat di sebuah rumah di Jalan Kebondalem Surabaya, beberapa orang Kiai berkumpul mempersiapkan sebuah organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama). H Wahab Chasbullah diminta untuk menghadapi KH Hasyim Asyari untuk diminta persetujuannya.
Mendapat tawaran persetujuan tentang organisasi ini, Kiai Hasyim tidak langsung menyetujuinya. Lama ia menimbang untung ruginya. Ia pun berkali-kali shalat malam untuk minta petunjuk Allah tentang hal ini.
Hingga pada 1924 itu datang utusan dari gurunya, KH Kholil Bangkalan Madura. Utusan itu bernama As’ad Syamsul Arifin. Ia membawa tongkat untuk diserahkan kepada Kiai Hasyim. Sambil menyerahkan tongkat itu ia diamanahi untuk membaca surat at Thaha ayat 17-23. Ayat ini berkisah tentang Nabi Musa yang diberikan mukjizat tongkat dari Allah.
Mendapat hadiah dan isyarat dari gurunya ini membuat Kiai Hasyim termenung. Tapi ia masih ragu. Ia masih khawatir bahwa pembentukan organisasi Nahdlatul Ulama ini nanti dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat umat Islam. Ia ingin organisasi ini menjadi pemersatu umat dan menjadi rahmatan lil alamin.
Lebih dari satu tahun Kiai Hasyim belum mengambil keputusan. Hingga pada 1925, datanglah lagi utusan Kiai Kholil kepadanya dengan membawa tasbih. Kali ini As’ad Syamsul Arifin juga diamanahi dengan membaca asmaul husna Ya Jabbal Ya Qahhar.
Kiai Hasyim pun menerimanya dengan senang hati. Ia pun mempraktikkan zikir Ya Jabbar Ya Qahhar setelah shalatnya. Dan shalat malam minta petunjuk kepada Allah tentang masalah yang berat ini.
Akhirnya keputusan pun dibuatnya. Maka pada suatu hari, ulama Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya untuk membicarakan organisasi Nahdlatul Ulama. Diantaranya: KH Hasyim Asyari (Jombang), KH Bisri Syamsuri (Denanyar), KH Ridwan (Surabaya), KH R Asnawi (Kudus), KH R Hambali (Kudus), KH Nawawi (Pasuruan), KH Nachrawi (Malang), dan KH Darumuntaha (Bangkalan). Mereka pun bersepakat untuk mendirikan Nahdlatul Ulama.
Maka pada 31 Januari 1926, NU resmi berdiri. KH Hasyim Asyari ditetapkan sebagai Rais Aam, sedangkan H Hasan Gipo sebagai Ketua Tanfidziyah. Logo NU ditetapkan berupa bumi dan sembilan bintang dengan sabuk tampar melilit bumi, atas usulan KH Ridwan. Sedangkan nama Nahdlatul Ulama diusulkan KH Alwi Abdul Azis.